Pages

Rabu, 10 Juli 2013

Jurnal : KERJASAMA PENGELOLAAN SEKOLAH ANTARA KOMITE DAN KEPALA SEKOLAH : SALAH SATU SOLUSI MENGATASI PERMASALAHAN MANAJEMEN PENDIDIKAN

Media Ilmiah
Pabelan, Kartosuro (selatan SD Negeri Pabelan 2)
Hub : Andi / Lisa
0888 2988 781 / 0888 4198 220



A.  Latar Belakang Masalah
Sistem pendidikan yang selama ini dikelola dalam suatu iklim birokratik dan sentralistik dianggap sebagai salah satu sebab yang telah membuahkan keterpurukan dalam mutu dan keunggulan pendidikan di tanah air. Mengapa demikian?, karena sistem birokrasi selalu menempatkan “kekuasaan” sebagai faktor yang paling menentukan dalam proses pengambilan keputusan.
Sekolah-sekolah saat ini telah terkungkung oleh kekuasaan birokrasi yang “menggurita” sejak kekuasaan tingkat pusat hingga daerah bahkan terkesan semakin buruk dalam era desentralisasi ini. Ironisnya, kepala sekolah dan guru-guru sebagai pihak yang paling memahami realitas pendidikan berada pada tempat yang “dikendalikan”. Merekalah seharusnya yang paling berperan sebagai pengambil keputusan dalam mengatasi berbagai persoalan sehari-hari yang menghadang upaya peningkatan mutu pendidikan. Namun, mereka ada dalam posisi tidak berdaya dan tertekan oleh berbagai pembakuan dalam bentuk juklak dan juknis yang “pasti” tidak sesuai dengan kenyataan obyektif di masing-masing sekolah. Oleh karena itu tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa kekuasaan birokrasi persekolahan telah membuat sistem pendidikan kita tak pernah terhenti dari keterpurukan.
Kekuasaan birokrasi juga-lah yang menjadi faktor sebab dari menurunnya semangat partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Dulu, sekolah sepenuhnya dimiliki oleh masyarakat, dan merekalah yang membangun dan memelihara sekolah, mengadakan sarana pendidikan, serta iuran untuk mengadakan biaya operasional sekolah. Jika sekolah telah mereka bangun, masyarakat hanya meminta guru-guru kepada pemerintah untuk diangkat pada sekolah mereka itu. Pada waktu itu, kita sebenarnya telah mencapai pembangunan pendidikan yang berkelanjutan (sustainable development), karena sekolah adalah sepenuhnya milik masyarakat yang senantiasa bertanggungjawab dalam pemeliharan serta operasional pendidikan sehari-hari.
Pada waktu itu, Pemerintah berfungsi sebagai penyeimbang, melalui pemberian subsidi bantuan bagi sekolah-sekolah pada masyarakat yang benar-benar kurang mampu. Namun, keluarnya Inpres SDN No. 10/1973 adalah titik awal dari keterpurukan sistem pendidikan, terutama sistem persekolahan di tanah air. Pemerintah telah mengambil alih “kepemilikan” sekolah yang sebelumnya milik masyarakat menjadi milik pemerintah dan dikelola sepenuhnya secara birokratik bahkan sentralistik. Sejak itu, secara perlahan “rasa memiliki” dari masyarakat terhadap sekolah menjadi pudar bahkan akhirnya menghilang. Peran masyarakat yang sebelumnya “bertanggungjawab”, mulai berubah menjadi hanya “berpartisipasi” terhadap pendidikan, selanjutnya, masyarakat bahkan menjadi “asing” terhadap sekolah. Semua sumberdaya pendidikan ditanggung oleh pemerintah dan seolah tidak ada alasan bagi masyarakat untuk ikut serta berpartisipasi apalagi bertanggungjawab terhadap penyelengaraan pendidikan di sekolah.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan permasalahan dalam makalah ini, yaitu :
1.     Bagaimanakah peran dewan sekolah dan komite sekolah dalam menciptakan sebuah institusi sekolah yang mandiri dan otonom ?
2.     Bagaimanakah implentasi manajemen stratejik oleh dewan sekolah dan komite sekolah dalam mewujudkan institusi sekolah yang mandiri dan otonom ?  

C.    Tujuan dan Manfaat
1.     Mengetahui peran dewan sekolah dan komite sekolah dalam menciptakan sebuah institusi sekolah yang mandiri dan otonom
2.     Mengetahui implentasi manajemen stratejik oleh dewan sekolah dan komite sekolah dalam mewujudkan institusi sekolah yang mandiri dan otonom   

D.    Landasan Teori
Pergeseran paradigma pengelolaan pendidikan dasar dan menengah telah tercermin dalam visi pembangunan pendidikan nasional yang tercantum dalam GBHN (1999): “mewujudkan sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan berkualitas guna mewujudkan bangsa yang berahlak mulia, kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat, disiplin, bertanggungjawab, terampil, serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi”. Amanat GBHN ini menyiratkan suatu kekhawatiran yang mendalam dari berbagai komponen bangsa terhadap prestasi sistem pendidikan nasional yang kini tampak mulai menurun dalam mepersiapkan SDM yang tangguh dan mampu bersaing di era tanpa batas ke depan. Manajemen berbasis sekolah (MBS) memang bisa disebut suatu pergeseran paradigma dalam pengelolaan pendidikan, namun, tidak berarti paradigma ini “baru” sama sekali, karena pernah kita miliki sebelum Inpres No. 10/1973.Sekolah-sekolah dikelola secara mikro dengan sepenuhnya diperankan oleh kepala sekolah dan guru-guru sebagai pengelola dan pelaksana pendidikan pada setiap sekolah yang juga tidak terpisahkan dari lingkungan masyarakatnya. MBS bermaksud “mengembalikan” sekolah kepada pemiliknya yaitu masyarakat, yang diharapkan akan merasa bertanggungjawab kembali sepenuhnya terhadap pendidikan yang diselenggarakan di sekolah-sekolah.  Sisi moralnya adalah bahwa hanya sekolah dan masyarakatlah yang paling mengetahui berbagai persoalan pendidikan yang dapat menghambat peningkatan mutu pendidikan. Dengan demikian merekalah yang seharusnya menjadi pelaku utama dalam membangun pendidikan yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan masyarakatnya. Hanya kepala sekolah yang paling mengetahui apakah guru bekerja baik, apakah buku-buku kurang, apakah perpustakaan digunakan, apakah sarana pendidikan masih layak pakai, dan sebagainya. Kepala sekolah dapat “berunding” dengan masyarakat untuk memecahkan berbagai persoalan pendidikan bersama-sama termasuk mengatasi kekurangan sarana-prasarana pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar