Pabelan, Kartosuro (selatan SD Negeri Pabelan 2)
Hub : Andi / Lisa
0888 2988 781 / 0888 4198 220
A. Latar
Belakang Masalah
Sistem pendidikan yang selama ini dikelola dalam
suatu iklim birokratik dan sentralistik dianggap sebagai salah satu sebab yang
telah membuahkan keterpurukan dalam mutu dan keunggulan pendidikan di tanah
air. Mengapa demikian?, karena sistem birokrasi selalu menempatkan “kekuasaan”
sebagai faktor yang paling menentukan dalam proses pengambilan keputusan.
Sekolah-sekolah saat ini telah terkungkung oleh
kekuasaan birokrasi yang “menggurita” sejak kekuasaan tingkat pusat hingga
daerah bahkan terkesan semakin buruk dalam era desentralisasi ini. Ironisnya,
kepala sekolah dan guru-guru sebagai pihak yang paling memahami realitas
pendidikan berada pada tempat yang “dikendalikan”. Merekalah seharusnya yang
paling berperan sebagai pengambil keputusan dalam mengatasi berbagai persoalan
sehari-hari yang menghadang upaya peningkatan mutu pendidikan. Namun, mereka ada
dalam posisi tidak berdaya dan tertekan oleh berbagai pembakuan dalam bentuk
juklak dan juknis yang “pasti” tidak sesuai dengan kenyataan obyektif di
masing-masing sekolah. Oleh karena itu tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa
kekuasaan birokrasi persekolahan telah membuat sistem pendidikan kita tak
pernah terhenti dari keterpurukan.
Kekuasaan birokrasi juga-lah yang menjadi faktor
sebab dari menurunnya semangat partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan
pendidikan di sekolah. Dulu, sekolah sepenuhnya dimiliki oleh masyarakat, dan
merekalah yang membangun dan memelihara sekolah, mengadakan sarana pendidikan,
serta iuran untuk mengadakan biaya operasional sekolah. Jika sekolah telah
mereka bangun, masyarakat hanya meminta guru-guru kepada pemerintah untuk
diangkat pada sekolah mereka itu. Pada waktu itu, kita sebenarnya telah
mencapai pembangunan pendidikan yang berkelanjutan (sustainable development),
karena sekolah adalah sepenuhnya milik masyarakat yang senantiasa
bertanggungjawab dalam pemeliharan serta operasional pendidikan sehari-hari.
Pada waktu itu, Pemerintah berfungsi sebagai
penyeimbang, melalui pemberian subsidi bantuan bagi sekolah-sekolah pada
masyarakat yang benar-benar kurang mampu. Namun, keluarnya Inpres SDN No.
10/1973 adalah titik awal dari keterpurukan sistem pendidikan, terutama sistem
persekolahan di tanah air. Pemerintah telah mengambil alih “kepemilikan”
sekolah yang sebelumnya milik masyarakat menjadi milik pemerintah dan dikelola
sepenuhnya secara birokratik bahkan sentralistik. Sejak itu, secara perlahan
“rasa memiliki” dari masyarakat terhadap sekolah menjadi pudar bahkan akhirnya
menghilang. Peran masyarakat yang sebelumnya “bertanggungjawab”, mulai berubah
menjadi hanya “berpartisipasi” terhadap pendidikan, selanjutnya, masyarakat
bahkan menjadi “asing” terhadap sekolah. Semua sumberdaya pendidikan ditanggung
oleh pemerintah dan seolah tidak ada alasan bagi masyarakat untuk ikut serta
berpartisipasi apalagi bertanggungjawab terhadap penyelengaraan pendidikan di
sekolah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat
dirumuskan permasalahan dalam makalah ini, yaitu :
1. Bagaimanakah
peran dewan sekolah dan komite sekolah dalam menciptakan sebuah institusi
sekolah yang mandiri dan otonom ?
2. Bagaimanakah
implentasi manajemen stratejik oleh dewan sekolah dan komite sekolah dalam
mewujudkan institusi sekolah yang mandiri dan otonom ?
C. Tujuan dan Manfaat
1. Mengetahui
peran dewan sekolah dan komite sekolah dalam menciptakan sebuah institusi
sekolah yang mandiri dan otonom
2. Mengetahui
implentasi manajemen stratejik oleh dewan sekolah dan komite sekolah dalam
mewujudkan institusi sekolah yang mandiri dan otonom
D. Landasan Teori
Pergeseran paradigma pengelolaan pendidikan dasar dan
menengah telah tercermin dalam visi pembangunan pendidikan nasional yang
tercantum dalam GBHN (1999): “mewujudkan sistem dan iklim pendidikan nasional
yang demokratis dan berkualitas guna mewujudkan bangsa yang berahlak mulia,
kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat, disiplin,
bertanggungjawab, terampil, serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi”.
Amanat GBHN ini menyiratkan suatu kekhawatiran yang mendalam dari berbagai
komponen bangsa terhadap prestasi sistem pendidikan nasional yang kini tampak
mulai menurun dalam mepersiapkan SDM yang tangguh dan mampu bersaing di era
tanpa batas ke depan. Manajemen berbasis sekolah (MBS) memang bisa disebut
suatu pergeseran paradigma dalam pengelolaan pendidikan, namun, tidak berarti
paradigma ini “baru” sama sekali, karena pernah kita miliki sebelum Inpres No.
10/1973.Sekolah-sekolah dikelola secara mikro dengan
sepenuhnya diperankan oleh kepala sekolah dan guru-guru sebagai pengelola dan
pelaksana pendidikan pada setiap sekolah yang juga tidak terpisahkan dari
lingkungan masyarakatnya. MBS bermaksud “mengembalikan” sekolah kepada
pemiliknya yaitu masyarakat, yang diharapkan akan merasa bertanggungjawab
kembali sepenuhnya terhadap pendidikan yang diselenggarakan di sekolah-sekolah.
Sisi moralnya adalah bahwa hanya sekolah
dan masyarakatlah yang paling mengetahui berbagai persoalan pendidikan yang
dapat menghambat peningkatan mutu pendidikan. Dengan demikian merekalah yang
seharusnya menjadi pelaku utama dalam membangun pendidikan yang bermutu dan
relevan dengan kebutuhan masyarakatnya. Hanya kepala sekolah yang paling
mengetahui apakah guru bekerja baik, apakah buku-buku kurang, apakah
perpustakaan digunakan, apakah sarana pendidikan masih layak pakai, dan
sebagainya. Kepala sekolah dapat “berunding” dengan masyarakat untuk memecahkan
berbagai persoalan pendidikan bersama-sama termasuk mengatasi kekurangan
sarana-prasarana pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar